LSM Pendidikan; Antara Uang dan Pengentasan Kebodohan


Pendidikan, sebuah kata yang sarat makna akan kemuliaan, sebuah proses pendewasaan, proses aktualisasi potensi-potensi baik manusia. Proses memanusiakan manusia agar mengetahui jati diri kemanusiaannya, dengan harapan tidak terjerembab dalam jebakan iblis yang diam dalam diri.

Pendidikan, dibalik susunan kata mulia tersebut, banyak orang dan kelompok tertentu yang bersembunyi memanfaatkan wibawanya. Seperti rangkain huruf-huruf lain, ia sendiri tidak bisa mengungkapkan siapa jati dirinya. Ia tidak bisa mengucapkan rasa terimakasihnya atas orang atau kelompok yang menggunakan namanya untuk tujuan mulia. Sama juga, ia tidak bisa menghadang siapapun yang dengan sengaja menggunakan namanya untuk tujuan buruk.

Dua paragraph di atas adalah pembukaan untuk tulisan kali ini. Dengan dua paragraph tadi penulis yakin pembaca sudah menebak arah tulisan ini. Tulisan ini adalah bentuk ungkapan kejengahan penulis atas kondisi pendidikan anak-anak Indonesia yang terjadi di Sabah-Malaysia.

Ada sekitar 50.000 anak-anak Indonesia yang berada Sabah-Malaysia. 40.000 dari mereka belum mendapatkan layanan pendidikan. Bagi sebagian orang atau kelompok, hal tersebut menjadi peluang baik untuk mendirikan LSM pendidikan. Sebagaimana kita ketahui dari namanya bahwa LSM pendidikan adalah sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sabah. Betapa mulianya LSM pendidikan.

Namun realitas dilapangan yang penulis lihat, LSM pendidikan betapa kebakaran jenggot ketika mengetahui -atau hanya menduga-duga- bahwa muridnya berkurang. Mereka marah-marah karena murid-muridnya mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik, layanan pendidikan lebih sesuai dengan keindonesiaannya, layanan pendidikan yang gratis yang merupakan haknya, layanan pendidikan yang mereka tidak hanya terhenti pada sekedar bisa membaca dan menulis, layanan pendidikan yang mereka berhak mendapatkan kesempatan mengenyam pedidikan yang lebih tinggi. Dan yang menjadi kambing hitam kemarahan LSM-LSM tersebut adalah para pemberi layanan pendidikan lainnya.

Pemerintah Indonesia melalui P2TK-DIKDAS KEMDIKBUD bekerjasama dengan KJRI Kota Kinabalu dan KRI Tawau dengan guru-guru yang dikirim ke Sabah mempunyai tujuan memberikan layanan pendidikan sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Memberikan layanan sekolah dasar dengan SD (CLC SD), memberikan layanan SMP Terbuka (CLC SMP), memberikan layanan ujian paket A untuk anak usia 12 tahun ke atas, ujian paket B dan paket C bagi yang berhak mengikutinya sesuai syarat-syarat yang berlaku. Dan karena sesuai dengan konstitusi bahwa layanan tersebut adalah gratis maka demikian guru-guru Indonesia melakukannya. Tidak bermaksud untuk menunjuk hidung sendiri, namun teman-teman guru Indonesia dengan beragam tantangan yang luar biasa, sudah menjangkau pelosok hutan dan ladang ladang sawit untuk memberikan kesempatan pendidikan pada anak-anak Indonesia secara gratis.

Dengan realitas yang penulis sebutkan diatas timbul pertanyaan di benak penulis, “Kalau tujuan berdirinya LSM pendidikan itu untuk memberikan layanan pendidikan, kenapa menjadi kebakaran jenggot ketika anak-anak Indonesia mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik?”

Hitung-Hitungan Untung Rugi

Bukan tanpa alasan ketika penulis menduga pendidikan dijadikan alat untuk tujuan lain yang lebih utama. Ya, sebetulnya tidak tersembunyi juga, tujuannya merauk ringgit untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Penulis mau mengajak pembaca menelaah salah atau benarnya dugaan tadi. Sekarang penulis mencoba menggambarkan hitung-hitungan alasan kemarahan LSM-LSM tersebut ketika menduga dan merasa keberadaannya terancam.

Bukan hanya satu atau dua LSM pendidikan yang berdiri dengan menjamurnya anak-anak Indonesia di Sabah. Baik dari LSM yang sudah legal diakui oleh pemerintahan Malaysia (Pejabatan Pelajaran Negeri Sabah) atau yang masih masih illegal. Dengan melakukan lobi-lobi dengan pihak perusahaan, LSM-LSM tersebut menawarkan sebuah “pendidikan”. Seperti gayung bersambut perusahaan-perusahaan sawit di Sabah merasa terbantu dengan tawaran tersebut karena perusahaan-perusahaan tersebut merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral atas pendidikan anak-anak pekerjanya. Selain itu sebagai pemenuhan persyaratan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan aturan larangan mempekerjakan anak-anak. Dengan konsekuensi perusahaan harus memberikan fasilitas pendidikannya dan membayar jumlah nominal tertentu kepada LSM tersebut.

Setiap LSM memiliki sistem yang berbeda-beda. Ada yang melalukan perjanjian dengan perusahaan bahwa perusahaan harus membayar tiap bulan sekitar 3.000 ringgit sampai 5.000 ringgit lebih, sesuai dengan banyaknya jumlah anak Indonesia yang belajar di sekolah tersebut. Selain itu, Perusahaanpun wajib menyediakan fasilitas pendidikan, ruang belajar, kursi, meja, papan tulis dan yang lainnya. Dari pendapatan yang terima dari perusahaan mereka gunakan untuk gaji guru dan membeli ATK sekitar 1.000 – 1.500 ringgit. Silahkan dihitung berapa ringgit yang mereka kantongi jika LSM ini memiliki sedikitnya 10 tempat kegiatan belajar mengajar di berbagai perusahaan sawit yang ada di Sabah. Jika ini tujuan utamanya, wajar jika kemudian mereka naik darah jika kehilangan 1 orang murid saja. Betapa tidak, berkurangnya murid, akan berpengaruh atas jumlah ringgit yang diterima.

Ada juga LSM yang melakukan MOU dengan pihak perusahaan, bahwa perusahaan akan membayar gaji guru. Perusahaan memberikan seluruh fasiltas pendidikan, ruang belajar, kursi, meja, printer, tinta, spidol dan yang lainnya. Setelah semua fasilitas belajar mengajar tercukupi, mereka mewajibkan kepada murid-muridnya untuk membayar kisaran 15 s.d 30 ringgit. Andai saja sekolah tersebut rata rata sedikitnya mempunyai 80 siswa, kemudian setiap kepala harus membayar 20 ringgit, maka 1600 ringgit adalah hasil bersih dari bisnis pendidikan ini dari satu sekolah. Kita hitung saja jika LSM tersebut minimal memiliki 10 sekolah di perkebunan sawit ini, maka 1600 x 10 = 16.000. maka, perbulan pemilik LSM mengantongi sekitar 51 juta rupiah. Tidak heran, jika kemudian layanan pendidikan gratis yang berikan pemerintah menjadi musuh besar mereka.

Para TKI dengan semua keterbatasannya seolah menjadi target empuk eksploitasi para pemilik modal, pemilik kekuasaan, dan bahkan pemilik ‘pendidikan’.

Leave a comment