Pakaian Isteri, Kemuliaan Suami


Pernah mendengar istilah ‘ISTI’? ISTI adalah akronim dari Ikatan Suami Takut Isteri. Tentu organisasinya tidak pernah ada, setahu saya. Akronim ini muncul sebagai ledekan atau hinaan terhadap lelaki (suami) yang dianggap tidak superior terhadap isterinya. Gelaran ‘suami takut isteri’ diberikan kepada lelaki (suami) yang dianggap tidak berkuasa terhadap isterinya.

Ada kesan yang didapat pada beberapa kelompok bahwa lelaki yang hebat adalah yang mampu menundukkan isterinya. Ia adalah raja sedangkan isteri adalah rakyat jelata. Ia adalah tuan dan isteri adalah hamba sahaya. Ucap dan tindakannya adalah undang-undang bagi isterinya. Bagi kelompok ini, derajat isteri berada di bawah telapak kaki suami.

Sejarah mencatat, sebelum hadirnya Islam, demikianlah kaum lelaki arab memperlakukan perempuan, termasuk kepada isteri sendiri. Namun Qur’an mengoreksi pandangan dan tindakan seperti itu dalam sebuah ayat (Al-Baqoroh:187) “mereka (para isteri) adalah pakaian bagi kalian, dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi mereka”.

Tamsil yang digunakan Qur’an begitu indah dan berarti besar untuk sebuah peradaban. Dari ayat tersebut kita bisa mengambil beberapa pelajaran:

Pertama, ayat ini mengoreksi pandangan dan tindakan yang merendahkan derajat perempuan. Ini menjadi salah satu ayat yang memerintahkan manusia untuk memposisikan perempuan pada derajat yang mulia.

Kedua, benang merah (wajh sibh) pakaian menjadi perumpamaan (musyabbah bih) adalah pada fungsinya. Fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat dan kekurangan. Pakaian pun berguna melindungi badan dari panas terik matahari. Di lain waktu pakain menjadi pelindung dari dinginnya udara. Menurut Ali Syari’ati, bahwa pakaian adalah simbol dari kemuliaan. Senada dengan itu, Cak Nun mengatakan bahwa pakaian adalah identitas kemanusiaan. Tanpa pakaian maka hilanglah kemanusiaannya.

Ketiga, suami dan isteri untuk masing-masing pasangannya diumpamakan dengan satu hal yang sama; pakaian. Ini menegaskan bahwa fungsi keberadaan suami dan isteri adalah sama.

Menurut ayat itu, tugas seorang suami adalah menutupi kekurangan isteri, baik dhohir maupun batin. Kalau isteri kurang dalam ilmu pengetahuan, tugas suami mengajarinya. Ketika isteri kurang rapih dan cantik tugas suami merawatnya. Tatkala isteri sakit, tugas suami mengobatinya. Di saat isteri ketakutan, tugas suami menentramkannya.

Suami harus menjadi pelindung bagi isterinya, baik dari bahaya jasmani, mental dan ruhani. Dalam surat An-Nisa: 34, Allah menegaskan “Kaum lelaki adalah qowwam (pemimpin) bagi perempuan”. Disini, untuk menunjukan kata pemimpin Quran menggunakan kata Qowwam yang merupakan derivasi dari kata qoma (berdiri). Quran tidak menggunakan kata Amir yang berasal dari kata amaro (memerintah). Ini berarti bahwa tugas lelaki bukan memberikan perintah ini dan itu. Tapi tugas lelaki adalah menjadikan perempuan (isteri-isteri) mampu bangun dan berdiri disampingnya. Berani berdiri dengan terhormat tanpa rasa takut, malu dan perasaan inferior lainnya.

Seperti halnya pakaian, seorang lelaki (suami) harus menjadikan isterinya terhormat dan terlindungi. Kalau fungsi ini dilaksanakan, hakikatnya dialah lelaki sejati dan hebat.

Dengan menjadikan isteri tehormat tidak akan menjadikan kemuliaan suami jatuh. Justru kehormatan isteri adalah kemuliaan suami, sebagaimana pakaian isteri adalah kemuliaan suami. Bukankah suami tidak akan rela, ketika isterinya berpakain tidak baik dan layak?

Leave a comment